Pentingnya memperhatikan metode Talaqqi
dalam menuntut ilmu dan kalaupun tidak memungkinkannya, maka metode ijazah
adalah sebuah solusi praktis namun juga harus mengetahui persayaratannya.
Pada periode awal, metode talaqqi menjadi metode pilihan agar
dapat meriwayatkan apa yang disampaikan oleh guru mereka, yakni salah satu
metode periwayatan dengan teknis murid secara langsung mendengar bacaan gurunya
(dalam istilah periwayatan hadits diistilahkan dengan metode Sima’) atau
sebaliknya, murid yang membaca dan didengarkan secara seksama oleh gurunya
(dalam istilah periwayatan hadits biasa diistilahkan dengan metode Qiroah).
Sehingga setiap kitab da cabang ilmu lain yang diriwayatkan oleh mereka pasti
memiliki sanad sampai pada mushonnifnya.
Periwayatan dengan metode talaqqi seperti ini, selain untuk
memantapkan bahwa kitab yang diriwayatkan memang benar-benar dari mushonnifnya,
juga memiliki kesitimewaan lain, yakni mempermudah mereka untuk memahami maksud
yang dikehendaki oleh mushonnifnya dari keterangan dalam kitabnya, serta
menjaga keakuratan teks kitab yang diriwayatkan, sehingga teks tersebut sampai
pada periwayat dalam keadaan terbebas dari pengurangan dan penambahan (distorsi
dan talbis).
Dan telah kita saksikan saat ini dengan ilmu metode talaqqi dan
bukti naskah asli, terbongkar sudah, banyak kitb-kitab para ulama klasik
kita yang telah menjadi sasaran distorsi dan talbis dari para aliran-aliran
sempalan yg tidak memiliki sanad keilmuan seperti salafy wahhabi dan syi’ah. Di
antaranya kitab Tafsir ash-shofi dari karya ulama yang bermadzhab Maliki yang
telah dipotong sebagian naskah aslinya, juga kitab Al-Adzkar karya imam Nawawi
yang telah mengalami perubahan sub judul dengan merubah bab Ziayarh qobrin Nabi
menjadi bab ziayarah masjidin nabi, kitab Ibanah karya imam Asy’ary dalam hal
aqidah tak luput dari tahrif mereka, juga kitab al-Ghunyah karya syaih Abdu
Qodir pun benyak perubahan yg dilakuan oleh mereka.
Akan tetapi seiring perkembangan khazanah Islam dan begitu
banyaknya kitab yang ditulis oleh para ulama, metode ini lambat laun tidak lagi
menjadi satu-satunya metode pengembangan ajaran-ajaran Islam yang telah terukir
dalam kitab-kitab karya ulama.
Lag pula tidak sedikit muncul kitab-kitab tebal, sehingga bila
metode talaqqi tetap menjadi satu-satunya cara periwayatan demi memperoleh
sanad sampai pada mushonnifnya, maka akan membutuhkan waktu yang lama dan akan
memperlambat perkembangan ajaran agama Islam sendiri.
Maka metode Ijazah kemudian menjadi solusi yang ditawarkan dan
dianggap sebagai metode praktis untuk menjaga keberlangsungan dan kemurnian
karya-karya para ulama yang telah diriwayatkan dan dinyatakan kevalidannya,
dengan syarat :
1. Naskah tsb dipercaya
kevalidannya
2. Terdapat bebrapa naskah
yang sama sehingga diduga kuat kevalidannya
3. Penukil adalah orang
yang peka terhadap setiap pengurangan dan perubahan yang terdapat dalam sebuah
teks kitab.
Sementara bila sayarat tidak terpenuhi maka penukil tidak boleh
menisbatkan keterangan suatu kitab pada mushonnifnya.
Meskipun tidak bisa dipungkiri metode ini masih
diperselisihkan para ulama. Apakah metode ini dapat menggantikan metode talaqqi
dalam menjaga khazanah pustaka Islam dari penambaan, pengurangan atau bahkan
pengubahan atau tidak. Sebagaimana metode ini juga dierselisihkan dalam
periwayatan hadits. Di antara ulama yang melegalkan metode ijazah untuk menjaga
hadits Rasulullah Saw adalah Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri,
imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Bukhari dan Muslim. Mereka berpijak pada sebuah
hadits :
عن عروة بن الزبير قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عبد الله
بن جحش إلى نخلة، فقال: كن بها حتى تأتينا بخير من أخبار قريش. ولم يأمره
بقتال، وذلك في الشهر الحرام وكتب لهم كتابا قبل ان يعلمه اين يسير
وقال: «اُخرج أنت وأصحابك حتّى إذا سرت يومين فافتح كتابك وانظر ما فيه وامض لما
أمرتك». ولا تستكرهن احدا من اصحابك على الذهاب معك فلمّا سار يومين وفتح
الكتاب فإذا فيه: «أن امض حتّى ننزل نخلة، فائتنا من أخبار قريش بما يصل إليك
منهم» فقال لاَصحابه حين قرأ الكتاب: سمعاً وطاعة، من كان له رغبة في الشهادة
فلينطلق معي فاني ماض لامر رسول الله صلى الله عليه وسلم
“ Diceritakan dari Urwah bin Zubair, dia berkata “ Rasulullah Saw
pernah mengutus Abdullah bin Jahsyin ke sebuah kebun kurma, lalu beliau berkata
kepadanya” Tetaplah di sana sehingga sampai pada kami satu berita dari
berita-berita kaum Quriasy “. Beliau tidak memerintahkannya untuk berperang.
Peristiwa tsb terjadi pada bulan yg dimuliakan. Saat itu Rasululllah Saw
menulis sepucuk surat sebeum beliau memberitahukan padanya ke mana belaiu akan
pergi. Beliau berkata : “ Keluarlah kamu dan sahabt-sahabatmu, kemudian ketika
kamu telah melakukan perjalanan selama dua hari, bukalah surat itu dan
lihatlah, maka apapun yang aku perintahkan padamu, laksanakanlah dan jangan
kamu memaksa seseorang pun dari sahabat-sahabatmu untuk ikut pergi bersamamu.
“. Maka ketika Abdullah telah melakuan perjalanan selama dua hari, dia membuka
surat tsb, ternyata surat it berisi perintah “ Lanjutkanlah sehingga kamu
tinggal di kebun kurma itu lalu sampaikan padaku abara berita kaum Quaisy yang
telah sampai padamu !” setelah beliau membacanya beliau berkata pada para
sahabatnya “ Dengarkanakh dan patuhlah ! siapapun di anatara kalian yang ingn
mati dalam kesyahidan maka berangkatlah bersamaku, sungguh aku orang yang
meneruskan perintah Rasulullah Saw “ (HR. Baihaqi)
Hadits di atas menunjukan bahwa mendengarkan secara langsung
bukanlah satu-satunya cara untuk dapat meriwayatkan perintah Rasulullah Saw.
Bahkan beliau sendiri haya mnyampaikan pesannya melalui surat, itupun dengan
tangan orang lain. Sebab, telah maklum kita ketahui sebagai suatu keistimewaan
bahwa Rasulullah Saw adalah seorang ummi, tidak bias membaca dan menulis.
Sememntara Abdullah hanya berpegang pada perintah Rasulullah Saw untuk
membukanya ketika dia telah berjalan selama dua hari dan menyampaikan pada para
sahabatnya. Selain hadits di atas masih banyak hadits lainnya lagi yg senada
yang mengisahkan pesan Rasulullah Saw via sepucuk surat.
Meski demikian metode talaqqi tetaplah menjadi metode yang
terbaik demi menjaga keautentikan dan keorisinilitas karya para ulama, sehingga
tidak mengherankan bila banyak pondok pesantren lebih mengedepankan metode ini
daripada metode ijazahan.