Memahami ayat dan Hadits dengan ilmu alat, wajibkah ?? bag 1
Sebelum saya memberikan kesimpulan tuntas atas permasalahan furu’ yang
masih dipersoalkan oleh kawan-kawan salafi wahhabi yaitu tentang hukum
sholat di dalam masjid yang ada makamnya,walaupun saya sudah membuat
pembahasan tersendirinya, maka sangatah penting saya menjelaskan tentang
urgenitasi memahami nash ayat atau hadits dengan tuntunannya yaitu ilmu
kaidahnya.
Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan
beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu,
shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan
dengan bahasa Arab :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :
وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات ،
“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh
bahasa, paling jelas dan luasnya. Dan paling banyak membawa makna-makna
yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling
mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “.
Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran
yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu
tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang
berkaitan dengannya seperti :
1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan
Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.
Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan
sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran
yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan
terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten
dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari
pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid
pada pemahaman ulama salaf.
Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??
Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab
pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz
per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat
al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang
berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini
semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.
Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang
berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab),
membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau
mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir
tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai
ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan
seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung
sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang
dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.
Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat
adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami
al-Quran.
Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :
تعلموا العربيية وعلموها الناس
“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “
Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu
alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.
Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat
melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya
semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca
al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab
ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits
yang telah di racik oleh para ulama.
Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis
mauidzhah, atau lainnya. Ini mrupakan salah satu media untuk memahami
ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan
sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari
al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia
tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan
meraciknya sendiri.
Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat
racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.
Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia
mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya
dengan dalil-dalilnya.
Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam
memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang
berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.
Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan
bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul
pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan mennyimpang dari maksud yang
sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam
aliran-aliran sempalan Islam.
Ibnu Taimiyyah berkata :
ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولو سقط لسقط الإسلام
“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka
akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya
pemhaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “
Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini,
sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa
bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :
واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكن وعلى هذا
كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربية لا مع القدرة و لا مع
العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون هو القرأن المنزل
“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini
tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama
berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia
mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu
akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “
Umar bin Khoththob Ra berkata :
تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران
“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.
Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang
belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara
bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :
حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجهها فيهلك فيها
“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab,
karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya
maka dia celaka di dalamnya “.
Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :
من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين
“ Brangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “
Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :
يعني اصول العلم
“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)
Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :
Contoh pertama;
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ
يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ
الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas
perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira
bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih
“. (Al-Imran : 188)
Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita
semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti
merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas
karya kita.
Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai
ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari
dan Muslim berikut :
“ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada
mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan member
tahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah
memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “.
(HR. bukhari dan Muslim)
Contoh kedua :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
“ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)
Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “
Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab
nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “
Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum
khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang
dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.
Contoh ketiga :
افرايت من اتخذ الهه هواه
“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)
Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa
tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh
bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah
mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.
Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :
افرايت من اتخذ هواه الهه
“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”
Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.
Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh
akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula
dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat
karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang
memiliki kesempurnaan bahasa.