Selamat Datang ... Terima Kasih telah Mampir di Blog ini

Silahkan Anda COPAS Ariticel yang ada di BLOG ini
100% Halal - Hak Cipta Hanya Milik Allah SWT

Selasa, 31 Januari 2012

Menjawab kedangkalan, tuduhan dan pembohongan public Abu Ubaidah as-Sidawi terhadap ucapan para ulama madzhab.

Telah beredar di internet khususnya dalam situs-situs para penentang madzhab sebuah tulisan yang bersifat sangat profokasi dan merusak persatuan umat Muslim, tulisan yang berisikan tentang bahaya fanatic madzhab yang disasarkan kepada jumhur muslimin yang bermadzhab, sungguh penulisnya yaitu Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi menulisnya berdasarkan :
1. Kebodohan akan persoalan ijtihad dan madzhab
2. Telah melakukan kebohongan public
3. Pembodohan besar-besaran terhadap pembacanya
4. Memvonis kaum muslimin yang mayoritas ini dengan ta’ashshub pada madzhabnya masing-masing
Abu Ubaidah telah menunjukkan kedangkalan cara berpikirnya di dalam memahami persoalan ijtihadiyyah dan mazdhabiyyah, dan kalau mau jujur semua tulisannya justru berdasarkan taqlid buta kepada para ulama yang juga kontra terhadap madzhab jumhurul muslimin.
Di sini al-Faqir akan membongkar pembohongan public Abu Ubaidah di dalam menukil sebuah pujian para ulama atas para imamnya.
Di awal tulisan Abu Ubaidah membawakan sebuah syi’ir pujian sebagai berikut :
Abu Ubaidah :
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ  
La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir
Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah.
Jawaban saya :
Pertama : Abu Ubaidah salah di dalam menyebutkan sumber dari potongan bait tsb yang sebenarnya adalah bersumber dari Abdullah bin Mubarak, beriku kelengkapan baitnya :
لقد زان البلاد ومن عليها إمام المسلمين أبو حنيفه     بأحكام وآثار وفقه
كآيات الزبور على صحيفه     فما في المشرقين له نظير
ولا في المغربين ولا بكوفه     يبيت مشمرا سهر الليالي
وصام نهاره لله خيفه     فمن كأبي حنيفة في علاه
إمام للخليفة والخليقه     رأيت العائبين له سفاها
خلاف الحق مع حجج ضعيفه     وكيف يحل أن يؤذى فقيه
له في الأرض آثار شريفه     وقد قال ابن إدريس مقالا
صحيح النقل في حكم لطيفه     بأن الناس في فقه عيال
على فقه الإمام أبي حنيفه     فلعنة ربنا أعداد رمل
على من رد قول أبي حنيفه
 (Raddul Mukhtar ‘ala Ad-Durri Al-Mukhtar juz : 1 hal : 61)
Kedua : Rupanya Abu Ubaidah tidak mengetahui maksud dari potongan bait Ibnu Al-Mubarak tsb, atau memang ia sengaja membohongi public dengan menutupi maksud yang sebenarnya.
Inilah syarh / penjelsan dari makna bait tsb :
( قوله : على من رد قول أبي حنيفة ) أي على من رد ما قاله من الأحكام الشرعية محتقرا لها ، فإن ذلك موجب للطرد والإبعاد ، لا بمجرد الطعن في الاستدلال ; لأن الأئمة لم تزل يرد بعضهم قول بعض ، ولا بمجرد الطعن في الإمام نفسه ، لأن غايته الحرمة فلا يوجب اللعن ، لكن ليس فيه لعن شخص معين فهو كلعن الكاذبين ونحوهم من العصاة فافهم
“ Ucapan ; La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir. Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah. Maksudnya adalah “ Terhadap orang yang yang menolak dengan merendahkan ucapan Abu Hanifah dari hukum-hukum syare’atnya, karena hal itu memang mengahruskan penngusiran dan penolakan (terhadap yg menolaknya hukum syare’at), bukan semata-mata mencela dari sisi pengambilan dalilnya. Karena sesungguhnya para imam madzhab memang saling berbeda dengan yang lainnya, dan bukan karena semata-mata mencela diri pribadi imam tsb, karena hal itu adalah haram. Dalam bait tsb bukanlah melaknat pada orang tertentu melainkan seperti melaknta orang2 pendusta, para pelaku maskyiat, maka pahamilah hal ini “.
(Raddul mukhtar juz 1 hal : 63)
Kemudian Abu Ubaidah menukil kalam seorang ulama besar dari kalangan madhzab Hanbali yaitu Abul Hasan Al-Karkhi dengan bertujuan meremehkannya dan memvonisnya telah melakukan fanatic buta pada madzhabnya, berikut petikannya :
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin hal. 95).
Jawaban saya :
Lagi-lagi Abu Ubaidah hanya meangambil ucapan tersebut dengan memtong-motongnya. Dan ia pun tak paham maksud dari ucapan tersebut.
Berikut lengkapnya :
أن كل آية تخالف قول أصحابنا فإنها تحمل على النسخ أو على الترجيح والأولى أن تحمل على التأويل من جهة التوفيق
“ Pokok berikutnya adalah “ Setiap ayat yang menyelisihi pendapat para ulama kami, maka diarahkan pada naskh atau diarahkan kepada yang lebih tarjih (kuat), namun yang lebih utama diarahkan pada ta’wil dari sisi taufiq “. (Usul Al-Karkhi : 84)
Inilah maksud dari ucapan tersebut :
والفهم الموضوعي المتجرد لهذا الأصل: يشير بكل بساطة إلى مدى حرص فقهاء الأحناف – كغيرهم من الفقهاء – في عدم تجاوزهم لنصوص الكتاب والسنة وإن بدا شيء من ذلك ظاهرا فذلك لوقوفهم على علة في ذلك النص من نسخ أو تأويل أو ترجيح دعاهم إلى صرف النظر عنه.
“ Pemahaman yang objektif terhadap pokok tersebut adalah : Mengisyaratkan sejauh optimisme para ulama fiqih Hanafi (sbgaimana juga ulama fiqih madzhab lainnya) untuk tidak melampaui nash-nash al-Quran dan sunnah. Dan jika Nampak perkara yang mnyelisihi terhadap al-Quran atau sunnah, maka hal itu disebabkan mereka (para ulama) masih meneliti atau memahami sebuah illat /alasannya di dalam nash tsb yang berupa naskh, takwil atau tarjih yang mendorong mereka untuk tidak
Mengabaikan hal ini “. (Al-Fikru Al-Ushuli : 122-124)
Artinya : “ Terkadang ucapan para ulama kita berselisih dengan nash al-Quran dengan ijma’ (konsesus) para sahabat Nabi Saw, atau ditarjih dengan hadits. Maka yang dimaksud ucapan di atas adalah takhshis yaitu mentakhshis ayat dengan hadits dan hal itu sudah hal biasa dalam ilmu tafsir. Maka jelaslah bahwa ucapan syaikh Abul Hasan bukanlah ta’ashshub (fanatik) terhadap madzhabnya “.
Seorang ulama ahli fiqih yang mendalam seperti beliau tidak mungkin mengatakan harus lebih mendahulukan pendapat ulama ketimbang al-Quran dan sunnah, sungguh ini tidak mungkin dalam benak beliau.
Hal ini pun telah dijelaskan maksudnya oleh syaikh Al-Bazdawi :
وقوله : الأصل أن كل خبر يجيء بخلاف قول أصحابنا فإنه يحمل على النسخ أو دليل آخر أو ترجيح فيه بما يحتج به أصحابنا من وجوه الترجيح أو يحمل على التوفيق، وإنما يفعل ذلك على حسب قيام الدليل، فإن قامت دلالة النسخ يحمل عليه وإن قامت الدلالة على غيره صرنا إليه.
“ Ucpannya : Prinsip dasar bahwa setiap hadits yang berseberangan dengan pendapat ulama kita, maka dimungkinkan pada naskh, atau dalil lain atau ditarjih dengan beberapa wujuh tarjih, atau dimungkinkan berdasarkan taufiq. Sesungguhnya melakukan hal itu hanyalah sesuai akan tegagknya dalil. Jika tegak dalil adanya naskh, maka diarahkan ke naskh, dan jika tegak dalil atas selainnya, maka juga di arahkan kesana “.
Dan ini sesuai dengan penafssiran Ibnu Taimiyyah :
"وليعلم أنه ليس أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما يتعمد مخالفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في شيء من سنته، دقيق ولا جليل، فإنهم متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب اتباع الرسول وعلى أن كل أحد من الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن إذا وجد لواحد منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلا بد له من عذر في تركه .
وجميع الأعذار ثلاثة أصناف :
أحدها : عدم اعتقاده أن النبي صلى الله عليه وسلم قاله .
والثاني : عدم اعتقاده إرادة تلك المسألة بذلك القول .
والثالث : اعتقاده أن ذلك الحكم منسوخ
رفع الملام عن الأئمة الأعلام (1 / 9، 10.
“ Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada satupun dari para imam madzhab yang diterima oleh umat secara menyeluruh itu menyalahai Rasulullah Saw di dalam satu sunnahnya saja baik yang lembut maupun yang jelas. Karena sesungguhnya mereka bersepakat dengan yakin atas wajibnya mengikuti Nabi Saw, dan setiap ucapan manusia ditolak kecuali Rasulullah Saw. Akan tetapi jika menemukan salah satu pendapat mereka yang berselisih dengan hadits shohih, maka harus ada alasan di dalam meninggalkannya.
Seluruh alasan itu ada tiga macam :
Pertama : Tidak meyakini bahwa Nabi Saw mengatakannya
Kedua : Tidak meyakini menginginkan masalah tersebut dengan ucapan tersebut
Ketiga : Meyakini bahwa hukum tersebut dimansukh (dihapus) “.
(Raf’ul malam ‘an aimmatil a’lam juz : 1 hal : 9-10)
Kemudian Abu Ubaidah menampilkan sebagian ucapan yang masyhur dikalangan Malikiyyah :
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا
“ Seandainy bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur “.
Jawaban saya :
Sungguh jika Abu Ubaidah menuduh pengikut madzhab imam Malik sebagai pengikut yang fanatic dan berlebihan atas dasar ucapan tsb, maka dia telah menuduh dan memvonis mereka atas tuduhan yang bersumber dari kedangkalan cara berfikirnya tersebut.
Ucapan tersebut adalah sebuah wujud rasa syukur para pengikutnya atas anugerah Allah Swt yang diberikan melalui seorang ulama besar bernama imam Malik, yang telah banyak berjasa dalam syare’at Islam ini, Kaum muslimin diseluruh penjuru dunia sungguh telah merasakan jasa beliau dalam hal keagamaan. sehingga agama menjadi kuat sebabnya. Bukan sebuah ucapan fanatic atau berlebihan. Maka patutlah imam Malik mendapat pujian semacam itu.
Ucapan-ucapan senada banyak termaktub di kitab-kitab para ulama, di anataranya pujian imam Syafi’I kepada imam Abu Hanifah berikut :
قال ابن حجر : وقال الشافعي رضي الله تعالى عنه : من أراد أن يتبحر في الفقه فهو عيال على أبي حنيفة 
“ Ibnu Hajar berkata : Berkata imam Syafi’i Radhiallahu ‘anhu “ Barangsiapa ingin mendalami dalam ilmu fiqih, maka dia butuh (merujuk) pada Abu Hanifah “ (Raddu al-Mukhtar : 63)
Dasn juga pujian imam Ahmad bin Hanbal kepada imam Syafi’I berikut :
قال الإمام أحمد بن حنبل : ما مس أحد محبرة ولا قلما إلا وللشافعي في عنقه منة
“ Imam Ahmad bin Hanbal berkata “ Tidaklah seseorang menyentuh tinta dan pena kecuali imam terdapat jasa imam Syafi’i di dalamnya “.
Beranikah Abu Ubaidah mengatakan imam Sayfi’I dan imam Ahmad telah fanatic buta pada sesorang ?? atau berlebihan di dalam pujian ??
Tiga bait tersebut telah disebutkan oleh para penulis biografi Ibnu Taimiyyah yang telah tersebar luas. Ketiga bait tsb, sebenranya justru terlalu berlebihan di dalam memuji Ibnu Taimiyyah dan terlalu mengada-ngada. Bagaimana pun hebatnya ibnu taimiyyah al-harrani ia tetaplah manusia biasa, bukan Nabi dan bukan Rasul
Selanjutnya Abu Ubadiah berkata “  Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”. (LihatMughitsul Al-Khalq hal. 15-16)
Jawaban saya :
Kedangkalan cara berpikir Abu Ubaidah semakin nyata saat menampilkan kalam Imam Ibnu Juwaini sebagai hujjah untuk memvonis ulama syafi’iyyah telah berfanatik buta pada gurunya.
Inilah kalam Ibnu Juwaini lengkapnya :
 وقال إمام الحرمين الجويني الشافعي نحن ندعي أن يجب على كافة العاقلين وعامة المسلمين شرقا وغربا بعدا وقربا انتحال مذهب الشافعي ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضا انتحال مذهبه بحيث لا يبغون عنه حولا ولا يريدون به بدلا
Ucapan beliau menjelaskan akan pentingnya bertaqlid bagi orang awam kepada seorang ulama yang ahli dalam berijtihad, bahkan menjadi suatu kewajiban untuk bertaqlid. Dan tidak mengikuti pendapat orang lain yang tidak ahli dalam berijtihad. Hal ini sudah mnjadi fakta sejarah dari generasi salaf hingga masa para imam madzhab, bahwa taqlid atau madzhab adalah sebuah keniscayaan yang tdk bisa diabaikan.
Dalam  persoalan ini saya akan membahasnya secara tersendiri, karena akan butuh penjelsan panjang dan luas dalam persoalan madzhabiyyah.
Berikutnya Abu Ubaidah menampilkan kalam sebagian pengikut madzhab Hanbali :
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifahrahimahullah:
“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an.…”.
(Lihat Ad-Durrul Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’ (1/158-167) oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Jawaban saya :
Sunnguh Abu Ubaidah sebenarnya justru telah taqlid buta dengan mencomot ucapan tersebut begitu saja dan langsung memvonis tanpa mau memahami makna yang sebenarnya.
والحاصل إن أبا حنيفة من أعظم معجزات المصطفى بعد القرآن
Ucapan imam Muhammad bin ‘Alauddin ini, memang benar adanya. Berdasarkan hadits Nabi Saw yang shohih berikut ini :
عن ابي هريرة رض الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو كان العلم بالثريا لتنواله اناس من ابناء فارس 
Rasulullah Saw bersabda “ Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra Parsi “.
(HR. Ahmad dan dishohikan oleh Ibnu Hibban : 7309)
Menurut para ulama seperti al-Hafidz as-Suyuthi dan lain-lain, hadits tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap imam Abu Hanifah. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan Parsi, hanya imam Abu Hanifah yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari dulu hingga kini.  
Maka pantas beliau disebut bagian dari mu’jiat Nabi Saw, karena sebelum kelahirannya Nabi Saw telah mengkabarkannya kepada kita dan kabar gaib ini merupakan mu’jizat Nabi Saw.
 Bahkan kalau kita mau melihat bagaimana para pengagum Ibnu Taimiyyah Al-Harrani memuji Ibnu Taimiyyah, maka sungguh terlihat mengada-ngada dan bahkan berlebihan :
ما ذا يقول الواصفون له   #   وصفاته جلت عن الحصر
هو حجة لله قاهرة   #    هو بيننا اعجوبة الدهر
هو اية في الخلق ظاهرة #  انوارها اربت على الفجر
“ Dapatkah mereka melukiskan sifat-sifat Ibu Taimiyyah #
Sedangkan sifat-sifatnya yang terpuji telah melampaui batas.
Dia adalah hujjah Allah yang kokoh #
Dan keajiban masa diantara kami.
Dia adalah ayat yang terang bagi makhluk, cahayanya mengalahkan sinar matahari “.
(kitab Ar-Radul wafer, Ibnu Nashir hal : 96)
Di dalam Hadist Nabi Saw tak disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah ayat Allah yang diwahyukan untuk manusia.
Maka beranikah Abu Ubaidah memvonis para pengagum Ibnu Taimiyyah ini sebagai pengikut yang fanatic buta dan berlebihan kepada Ibnu Taimiyyah ???
CATATAN :
Kalau Abu Ubaidah mau jujur, sebenrnya dia sendiri telah melakukan fanatic buta terhadap orang yang belum jelas keilmuannya, semua tulisannya hanyalah copas dari sebuah situs berikut ini;  http://www.islamadvice.com/ilm/ilm20.htm yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indoensia dan sedikit ia tambahkan bukan murni hasil dari ijtihad atau penelitiannya.
 
 (Ibnu Abdillah Al-Katibiy)