Pada
artikel
sebelumnya kita sudah ketahui sedikit dari banyaknya penipuan dan
kedangkalan firanda serta penyalahgunaannya terhadap ucapan-ucapan para
ulama dan
hadits-hadits Nabi Saw. Kali ini kelanjutan dari penipuan dan
penyalahgunaannya
terhadap ucapan ulama dan hadits Nabi Saw sebagai sanggahannya kepada
habib
Mundzir Al-Musawa.
Firanda
berkata :
Ibnu Hajar
Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal
juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah
menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah
dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan sholihin.
Dalam
Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وما
قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ
في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ
وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ
وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها
هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ
فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ
بين الْكَلَامَيْنِ؟
"Dan
apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan memberikan kepada
kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi'I dan
An-Nawawi) dalam (*bab) janaa'iz : "Dibencinya membangun di atas
kuburan", akan tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat :
"Dibolehkannya berwasiat untuk 'imaaroh kuburan para ulama dan solihin
karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut".
Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui
bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan
perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang lebih
kuat)?, dan jika anda mengatakan : "Tidak ada kontradikisi (*dalam
perkataan mereka berdua)", maka bagaimana mengkompromikan antara dua
perkataan tersebut? (Al-Fataawaa
Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami
Asy-Syafii rahimahullah menjawab :
الْمَنْقُولُ
الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ
الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا
فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في
الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ
الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه
وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ
بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ
الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ
مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك
فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ
ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا
تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ
"Pendapat
yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan
(*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu') syarh Al-Muhadzdzab- adalah
diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang
lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas
pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini
antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan
pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab
karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi'i wa Ar-Roudhoh, wallahu a'lam) yang
menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama
mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu
'anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang
dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran.
Dan yang dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan
yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan.
Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka
diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah
jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan
membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di
atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai
patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya.
(al-Fataawaa
al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)
Jawaban :
Lagi-lagi
firanda menipu umat dengan menukil ucapan imam Ibnu Hajar al-Haitami
Rahimahullah. Firanda berasumsi dan membuat kesimpulan yang salah dengan ucapan
Imam Ibnu Hajar tersebut bahwa beliau melarang membangun di atas kuburan para
ulama dan sholihin.
Benarkah
imam Ibnu Hajar berpendapat seperti itu ? jawabannya sunnguh tidak sama sekali.
Mari kita
simak penjelasannya :
Ketika
seseorang bertanya kepada imam Ibnu Hajar tentang kesepakatan imam Nawawi dan
imam Rafi’i terhadap kemakruhan membangun di atas kuburan namun di kesempatan
lain imam Nawawi dan imam Rafi’i bersepakat Dibolehkannya berwasiat untuk 'imaaroh
kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk
dengan kuburan tersebut, apakah dua ucapan ini saling kontradiksi ?
Imam Ibnu Hajar menjawab :
الْمَنْقُولُ
الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ
الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ
"Pendapat
yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan
(*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu') syarh Al-Muhadzdzab- adalah
diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang
lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum).
Sanggahan
:
Kalimat
al-Maqbarah al-Musabbalah inilah yang dibuang pemahamannya oleh firanda. Ia
hanya sekedar menulis dan menukil namun pemahaman yang dimaksud oleh imam Ibnu
Hajar ditolaknya mentah-mentah. Maka firanda telah menyalahgunakan ucapan imam
Ibnu Hajar al-Haitami.
Dalam madzhab
Syafi’I Rahimahullah ada beberapa hukum membangun bangunan di maqbarah
(pekuburan).
Yang pertama
hukum al-bina (bangunan) di tanah kubur milik sendiri, maka hukumnya ada ulama
yang mengatakan makruh dan ada juga yang berpendapat jawaz (boleh/tidak
makruh).
Imam Ibnu Hajar
membolehkan membangun semisal qubbah bagi kuburan orang sholeh bahkan beliau
menilai itu sebuah qurbah (pendekatan diri kepada Allah).
Yang kedua hukum
al-bina di pekuburan musabbalah (pekuburan yang telah dibiasakan oleh warga
untuk mengubur warga setempat yang meninggal), maka hukumnya diperinci :
- Jika si mayat
yang dikubur itu orang biasa, maka hukum membangun sesuatu di atas kuburan tsb
adalah haram dan wajib dihancurkan.
- Jika si mayat
yang dikubur itu orang sholeh, maka hokum membangun sesuatu di atas kuburan
tersebut hukumnya boleh. Ada pula yang berpendapat tidak boleh dan ini
dipelopori oleh imam Nawawi dan diikuti
imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Simak penjelasan
berikut ini :
Imam
Nawawi berkata :
ويكره
تجصيص القبر، والبناء والكتابة عليه، ولو بني في مقبرة مسبلة هدم
“ Dan dimakruhkan memplester kuburan juga makruh membuat
tulisan (selain untuk nama pengenal, pent) atasnya. Dan apabila membangun suatu
bangunan di pekuburan musabbalah, maka bangunan itu dihancurkan “.
(Minhaj
ath-Thalibin: 1/360)
Dalam kitab yang lain imam Nawawi
berkata :
قال
أصحابنا رحمهم الله : ولا فرق فى البناء بين أن يبنى قبة أو بيتا أو غيرهما ، ثم
ينظر فإن كانت مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك ، قال أصحابنا ويهدم هذا البناء بلا
خلاف... وإن كان القبر فى ملكه جاز بناء ما شاء مع الكراهة ولا يهدم عليه
“ Berkata sahabat-sahabat
kami Rahimahumullah “ Tidak ada perbedaan di dalam bangunan antara bangunan
qubbah, rumah atau selainnya. Kemudian dilihat, jika
pekuburan itu pekuburan musabbalah, maka semua itu diharamkan.
(Al-Majmu’: 5/260)
Beliau juga berkata dalam
kitab tahdzibnya :
ودفن فى البقيع ـ يعنى إبراهيم ابن رسول الله ـ وقبره مشهور
، عليه قبة فى أول البقيع
“ Dan dimakamnkan yakni Ibrahim putra Rasulullah Saw di
pekuburan Baqi’, kuburannya masyhur dan di atasnya dibangun qubah pada saat
permulaan Baqi’ “
(Tahdzib Al-Asma juz 1 hal
: 116)
Asy-Syaikh Al-Faqih al-Malibari
berkata :
(وكره بناء له)
أي للقبر ، (أو عليه) لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.
ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه. فإن كان بناء نفس القبر بغير الحاجة مما مر أو
نحو قبة عليه بمسبلة وهى ما اعتاده أهل البلد الدفن فيها ، عرف أصلها ومسبلها أم
لا ، أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ، ففيه تضييق على
المسلمين بما لا غرض فيه.
وقال
البجيرمي: واستثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم.
“ Makruh hukumnya membuat bangunan bagi kuburan berdasarkan
Hadits Nabi Saw yang shahih, Tanpa ada keperluan seperti takut dibongkar orang,
ata hewan buas atau hancur karena banjir. Letak kemakruhan membangun bangunan
di atas kuburan adalah jika tanhnya milik pribadi. Jika
membangun itu tanpa ada keperluan seperti yang berlalu atau semisal qubah di
pekuburan musabbalah yaitu kebiasan warga mengubur mayat setempat di tanah itu
baik diketahui asal dan musabbilnya atau tidak, atau pekuburan wakaf, maka
hukumnya haram dan wajib dirobohkan sebab bangunan itu akan tetap ada
walaupun si mayat sudah hancur sehingga menyebabkan penyempitan tempat pada
warga muslim lainnya yang bangunan itu tidak ada tujuannya “
Al-Imam al-Bujairomi
berkata “ Sebagian ulama mengecualikan juga pembangunan
kuburan milik para nabi, syuhada, orang-orang shalih dan sejenisnya “.
(I’aanah
at-Thoolibiin II/136)
Al-‘Allamah
asy-Syeikh Ibrahim al-Baijuri Rahimahullah pula berkata:
فيكره
البناء عليه إن كان في غير نحو المقبرة المسبلة للدفن فيها وإلا حرم سواء كان فوق
الأرض أو في باطنها ، فيجب على الحاكم هدم جميع الأبنية التي في القرافة المسبلة
للدفن فيها وهي التى جرت عادة أهل البلد بالفن فيها لأنه يضيق على الناس ، ولا فرق
بين أن يكون البناء قبة أو بيتا أو مسجدا أو غير ذلك ، ومنه الأحجار المعروفة
بالتركيبة ، نعم استثناها بعضهم للأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم.
“ Maka
dimakruhkan membangun di atas kuburan jika di selain pekuburan musabbalah. Dan
jika di pekuburan musabbalah (atau mauqufah), maka haram hukumnya, baik di atas
tanahnya atau di dalamnya. Maka wajib bagi hakim untuk merubuhkan seluruh
bangunan yang ada di pekuburan musabbalah, (musabbalah) yaitu kebiasaan warga
setempat untuk mengubur mayat di dalamnya. (keharaman hal) karena akan membuat
penyempitan tempat bagi calon mayat lainnya. Tidak ada perbedaan antara
bangunan bentuk qubah, rumah, masjid atau lainnya. Di antaranya juga bangunan
yang dikenal dengan susunan batu berbentuk segi empat di sekitarnya. Ya,
sebagian ulama mengecualikan (artinya boleh dan tidak haram) membangun bangunan
di kuburan para Nabi, syuhada, orang sholeh dan semisal mereka “.
(Hasyiyah
al-Baijuri ‘ala Ibn Qasim: 1/381)
Imam
Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
(
ولو بنى ) نفس القبر لغير حاجة مما مر كما هو ظاهر أو نحو تحويط أو قبة عليه خلافا
لمن زعم أن المراد الثاني وهل من البناء ما اعتيد من جعل أربعة أحجار مربعة محيطة
بالقبر مع لصق رأس كل منها برأس الآخر بجص محكم أو لا لأنه لا يسمى بناء عرفا
والذي يتجه الأول لأن العلة السابقة من التأبيد موجودة هنا ( في مقبرة مسبلة ) وهي
ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا ومثلها بالأولى موقوفة بل
هذه أولى لحرمة البناء فيها قطعا قال الإسنوي واعترض بأن الموقوفة هي المسبلة
وعكسه ويرد بأن تعريفها يدخل مواتا اعتادوا الدفن فيه فهذا يسمى مسبلا لا موقوفا
فصح ما ذكره ( هدم ) وجوبا لحرمته كما في المجموع لما فيه من التضييق مع أن البناء
يتأبد بعد انمحاق الميت فيحرم الناس تلك البقعة.
“ (Seandainya membangun) di
atas kuburan tanpa hajat seperti yang berlalu (khawatir dicuri, atau
digali binatang buas, pent) atau membuat pagar atau
qubah, berbeda dengan pendapat yang mengatakan maksud adalah yang kedua,
dan apakah bangunan batu segi empat yang mengelilingi kuburan juga termasuk
katagori bangunan ? karena itu bukan dinamakan bangunan secara umum, namun
pendapat yang dipilih adalah yang pertama (masuk kategori bangunan, pent)
karena illatnya yaitu pengekalan terdapat dalam hal itu. (Di pekuburan musabbalah) yaitu apa yang
ditradisikan warga setempat untuk mengubur mayat di sana walaupun musabbil dan
asalnya diketahui atau tidak, semisal itu juga terutama tanah pekuburan wakaf
karena keharaman membangun di dalamnya secara pasti. Al-Asnawi berbde pendapat,
beliau mengatakan bahwa pekuburan wakaf juga disebut pekuburan musabbalah dan
sebaliknya dan telah dating definisinya bahwa bahwa musabbalah adalah yang
masuk juga tanah mawat (tak ada pemiliknya) yang dibiasakan mengubur mayat,
maka ini disebut pekuburan musabbalah bukan wakaf. Maka sah apa yang beliau sebutkan. (Maka dirobohkan) hukumnya wajib karena
keharamannya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu’. Disebabkan akan
mempersempit tempat bagi lainnya dan bangunan akan terus ada setelah hancurnya
mayat sehingga tanah itu mencegah yang lainnya.
(Tuhfah al-Muhtaj
bab Janaiz juz 3 hal : 198)
Dalam kesempatan lain di bab wasiat
beliau berkata :
وإذا
أوصى لجهة عامة فالشرط أن لا يكون معصية .. الى أن قال وشمل عدم المعصية القربة
كبناء مسجد ولو من كافر ونحو قبة على
قبر عالم في غير مسبلة
“ Dan jika ia
berwasiat secara umum, maka syaratnya adalah bukan hal yang diharamkan….(hinga
beliau berkata, pent) “ Dan masuk juga perkara selain
haram yaitu al-Qurbah (ibadah yang mendekatkan diri pada Allah) seperti
membangun masjid walaupun dari orang kafir, juga semisal qubah di atas kuburan
di pekuburan selain musabbalah “.
(Tuhfah al-Muhtaj kitab al-Washoya)
Sayyid Thahir bin Muhammad Al-Alawi
mengomentari ucapan imam Ibnu Hajar tersebut sebagai berikut :
وإنما جعل ابن حجر وغيره القبة على الولي في غير المسبلة والموقوفة قربة
لأن العلماء نصوا على أن تمييز العالم والصوفي حياً وميتاً مطلوب أخذا من قوله في حق
نساء النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ( يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن
فلا
يؤذين ) وقد علمت أن القبة من عصور وقرون عليهم وعلى الأنبياء ( عليهم السلام
)
“ Sesungguhnya
Ibnu Hajar dan selainnya menjadikan qubah bagi (kuburan) seorang wali di
pekuburan selain musabbalah sebagai bentuk qurbah, karena para ulama menetapkan
bahwa membedakan orang alim dan shufi baik masih hidup ataupun sudah wafat (dari
yang lainnya) adalah mathlub (dituntut) mengambil hokum (qiyas) dengan firman
Allah Swt mengenai para istri Nabi Saw :
يا
أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن
يُعرفن فلا يُؤذين
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “.
Dan kamu telah mengetahui bahwa qubah sudah ada
sejak dari masa ke masa dari para wali dan para Nabi ‘alaihimu salam “.
Kesimpulan :
- Jawaban imam Ibnu Hajar al-Haitami kepada si
penanya adalah berkaitan pembangunan yang ada di tanah kuburan yang musabbal (bukan
milik pribadi).
- Adapun tanah kuburan milik pribadi maka beliau
dan imam Nawawi serta yang lainnya menghukuminya makruh itu pun jika tidak ada
hajat, jika ada hajat seperti khawatir dicuri, atau digali binatang buas atau
kebanjiran, maka hukumnya boleh alias tidak makruh. Seperti yang telah
dijelaskan di atas.
- Imam Nawawi dan Ibnu Hajar sepakat dibolehkannya
membangun qubah di kuburan Nabi, syuhada, wali dan orang sholeh di pekuburan
selain musabbalah dan mauqufah sebagaimana telah berlalu penjelesannya.
- Maka firanda telah menyalah gunakan ucapan imam
Nawawi dan imam Ibnu Hajar tentang hal ini bahwa firanda mengklaim kedua imam
tersebut melarang membangun
di atas kuburan para ulama dan sholihin. Dan seolah ingin membuat kesan bahwa
kedua ulama besar tersebut berpaham wahhabi.
- Namun terbukti
semua anggapan firanda salah, dan saya tidak tahu mengapa firanda berbuat
demikian, entah memang sengaja menipu umat dari maksud yang sebenarnya atau
memang firanda dangkal pikirannya di dalam memahami ucapan para ulama dan hadits-hadits
Nabi Saw. Wallahu a’lam..
Bersambung…